Pada bagian ini dikemukakan wacana dan teks secara lebih mendalam. Wacana dan
teks yang akan dijadikan bahan pengayaan mencakupi teks dan wacana serta register dan
gaya bahasa. Teks dan wacana mencakupi pengetian wacana dan teak, konteks, metafungsi
bahasa, wacan dan teks sebagai realisasi proses social, wacana dan teks sebagai proses dan
produk, dan latihan pengayaan. Register dan gaya bahasa mencakupi pengertian register,
register dan gaya bahasa, contoh register dan teks, serta latihan pengayaan.
A. Wacana dan Teks
1. Pengertian Wacana dan Teks
Sebagian ahli bahasa membedakan istilah wacana dengan istilah teks. Misalnya,
Widdowson (1980) menggolongkan istilah wacana sebagai bahasa yang digunakan untuk
merujuk ragam bahasa yang dihasilkan secara lisan. Dialog seperti percakapan, diskusi,
wawancara dan monolog seperti pidato, pembacaan berita radio dan televisi digolongkannya
sebagai wacana. Sebaliknya, tulisan berita, tajuk rencana, buku, dokumen, dan sebagainya
dimasukkannya sebagai teks. Sementara itu, ahli bahasa lain seperti Halliday (1985) dan
koleganya menggunakan istilah wacana dan teks untuk merujuk pada ragam bahasa lisan
dan tulis. Mereka beralasan bahwa baik bahasa lisan maupun tulis merupakan produk
suatu proses sosial.
Wacana dan teks adalah bahasa (baik lisan maupun tulis) yang sedang melakukan
fungsinya di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Wacana dapat dipahami
sebagai suatu konstruk (bangunan) yang dibentuk melalui sistem fungsi atau makna dan
sistem bentuk linguistik/kebahasaan secara simultan (bersama-sama/pada waktu yang
sama). Secara fungsional, wacana digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau
fungsi proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural (Butt, Fahey,
Spinks, & Yalop, 1998; Halliday, 1994). Secara fungsional, wacana merupakan sejumlah
unit simbol kebahasaan yang digunakan utnuk merealisasikan realitas pengalaman dan
logika (ideasional), realitas sosial (interpersonal), dan sekaligus realitas tekstual/semiotik
(simbol). Sementara itu, secara sistemik, wacana merupakan bahasa yang terdiri atas
sejumlah sistem atau unit kebahasaan yang secara hierarkis bekerja secara simultan dan
sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem yang lebih
tinggi, leksikogramatika, semantik wacana, dan struktur teks. Setiap peringkat tidak dapat
dipisahkan karena peringkat itu merupakan organisme yang mempunyai peran yang saling
terkait dalam merealisasikan makna holistik atau tujuan sosial suatu wacana (Halliday,
1985a; Halliday, 1994). Di dalam buku ini wacana, teks, dan bahasa digunakan untuk
merujuk ragam bahasa lisan dan tulis.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 111
2. Konteks
Wacana selalu berada pada lingkungan atau konteksnya. Konteks tersebut terdiri atas
konteks kultural dan konteks situasi. Konteks kultural merupakan sistem nilai dan norma
yang merepresentasikan suatu kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sistem nilai itu
termasuk apa-apa yang dipercaya (benar dan salah, baik dan buruk), termasuk di dalamnya
ideologi, yang mengatur faktor sosial yang berlaku umum dalam suatu kebudayaan (Philips
dalam Bhatt, 2002). Pada sisi lain, norma dipandang sebagai realisasi sistem nilai di dalam
bentuk aturan yang mengawal proses sosial, apa yang harus dan tidak harus, boleh dan
tidak boleh dikerjakan anggota masyarakatnya di dalam melakukan suatu proses sosial.
Sementara itu, konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang berada di dalam
wacana. Menurut Halliday (1985a; 1994; Halliday & Hasan, 1985; Martin, 1992) konteks
situasi terdiri atas tiga aspek: medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode), yang bekerja
secara simultan membentuk suatu konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Jika
digambarkan, hubungan antara konteks kultural, konteks situasi, dan wacana bahasa yang
sedang melaksanakan fungsi sosialnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1 Hubungan antara Wacana, Konteks Situasi, dan Konteks Kultural
(dimodifikasi dari Martin and Rose, 2003)
konteks kultural
konteks situasi
bahasa
112 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Konfigurasi kontekstual ini akan menentukan ekspresi (bentuk) dan makna
kebahasaan (register) yang digunakan untuk merealisasikan proses sosial. Medan merujuk
pada suatu kejadian dengan lingkungannya, yang sering diekspresikan dengan apa yang
terjadi, kapan, di mana, dan bagaimana terjadinya. Pelibat merupakan tipe partisipan
yang terlibat di dalam kejadian tersebut serta status dan peran sosial yang dilakukan oleh
partisipan tersebut. Sementara itu, sarana meliputi dua aspek, yaitu saluran (channel) dan
medium. Saluran merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian
tersebut. Saluran ini meliputi aspek gaya bahasa yang digunakan untuk merealisasikan
kejadian (lisan atau tulis). Aspek medium digunakan untuk menyalurkan proses sosial
tersebut. Medium ini dapat berupa medium lisan atau tulis, medium audio, visual, atau
audiovisual. Jika digambarkan, konfigurasi ketiga aspek konteks situasi dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 2 Konfigurasi Aspek Konteks Situasi
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Pengertian konteks situasi ini sering diperdebatkan apakah sebetulnya konteks ini
bersifat dinamis atau sinoptis atau statis. Model dinamik konteks situasi menunjukkan
bahwa konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna dapat berubah secara dinamis
sepanjang wacana. Sejumlah ahli memanfaatkan model ini ketika mereka menganalisis
wacana lisan, seperti dalam percakapan, seminar, atau debat. Di dalam wacana seperti ini
aspek medan, pelibat, dan sarananya dapat berubah sepanjang wacana berjalan menuju
tujuan yang dicapai (O'Donnell, 1999). Sementara itu, model sinoptik atau statik mempunyai
konfigurasi kontekstual yang lebih mapan sepanjang wacana. Oleh karena itu, model ini
sering digunakan di dalam menganalisis wacana tulis, seperti editorial dan berita yang
mempunyai konfigurasi kontekstual lebih mapan jika dibanding dengan wacana lisan.
medan
pelibat sarana
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 113
3. Metafungsi Bahasa
Halliday dan Hasan (1985), Halliday (1994), dan Thomson (2004) mengatakan bahwa
wacana (baik lisan maupun tulis) mengandung tiga metafungsi, yaitu ideasional (yang
terdiri atas pengalaman dan logika), interpersonal, dan tekstual. Metafungsi pengalaman
mengekspresikan makna atau realitas pengalaman, sedangkan metafungsi logika
merealisasikan makna logis (logico-semantic) atau realitas logis yang menghubungkan
antarpengalaman tersebut. Realitas pengalaman meliputi pengalaman manusia dalam
merekonstruksi (membangun) lingkungannya melalui bahasa. Realitas pengalaman itu
meliputi pengalaman melakukan aktivitas, pengalaman dalam menata benda atau yang
dibendakan, serta pengalaman dalam menata benda terhadap lingkungannya. Pengalaman
dalam melakukan aktivitas, termasuk aktivitas material, mental, verbal, relasional, dan
eksistensial. Pengalaman menyusun benda atau yang dibendakan, termasuk bagaimana
menyusun urutan benda dengan klasifikatornya, deskriptornya, numeriknya, deiktiknya,
dan tambahan informasinya. Pengalaman menata benda terhadap lingkungannya, termasuk
bagaimana benda itu diletakkan di dalam ruang fisik atau nonfisik, hubungannya dengan
benda lain di dalam lingkungan tersebut. Sementara itu, realitas logika adalah realitas yang
menghubungkan antarproses atau aktivitas manusia tersebut. Apakah hubungan aktivitas
tersebut bersifat aditif, komparatif, temporal, atau kausatif.
Metafungsi interpersonal wacana mencerminkan realitas sosial suatu wacana atau
makna yang terbangun dari hubungan antarpartisipan yang berada di dalamnya. Makna
interpersonal ini terdiri atas makna interaksional (makna yang mengekspresikan interaksi
antarpersonal) dan transaksional (makna yang mengekspresikan adanya transaksi informasi
dan atau barang/jasa). Makna tekstual mencerminkan kedua metafungsi (ideasional dan
interpersonal) ke dalam simbol. Di dalam wacana simbol tersebut disebut ekspresi tekstual,
yang juga mempunyai makna dan sistem tersendiri yang berbeda dalam setiap unit bahasa
dan berbeda dengan sistem semiotika lainnya.
Ketiga metafungsi tersebut bekerja secara simultan untuk merealisasikan tugas
yang diemban wacana tersebut di dalam suatu konteks penggunaan atau konteks situasi.
Jika digambarkan, sistem kerja ketiga metafungsi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
114 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Gambar 3 Konfigurasi Tiga Metafungsi
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Ketiga aspek konteks situasi tersebut mempunyai keterkaitan dengan tiga metafungsi
bahasa di dalam wacana: bahasa yang sedang melakukan fungsi sosialnya (Eggins & Martin,
1997; Rose, 2006). Medan berdekatan dengan metafungsi ideasional. Medan, seperti yang
disebutkan di atas, meliputi kejadian dan lingkungannya, sedangkan metafungsi ideasional
mengekspresikan makna pengalaman dan logikal. Pelibat berdekatan dengan metafungsi
interpersonal karena pelibat menggambarkan hubungan peran dan status sosial partisipan,
sedangkan metafungsi interpersonal mengekspresikan makna sosial: interaksional dan
transaksional. Sementara itu, aspek sarana berdekatan dengan metafungsi tekstual. Sarana
meliputi saluran (gaya bahasa) dan medium yang digunakan dalam bahasa, sedangkan
metafungsi tekstual merupakan sistem dan makna simbolis, ekspresi, atau tekstual suatu
wacana.
Hubungan kedekatan ketiga aspek konteks situasi dan ketiga metafungsi bahasa
dalam merealisasikan fungsi sosial suatu wacana di dalam suatu konteks kebudayaan dapat
dilihat pada gambar berikut.
ideasional
interpersonal tekstual
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 115
Gambar 4 Hubungan antara Aspek Konteks Situasi dan Metafungsi Bahasa
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Wacana juga merealisasikan nilai, norma kultural, dan proses sosial atau genre di
dalam konteks kultural. Dalam hal ini wacana sekaligus juga merealisasikan konfigurasi
makna di dalam konteks situasi serta metafungsi bahasa. Dengan demikian, wacana akan
berubah jika konteks kultural dan konteks situasinya berubah. Dalam konsep ini, wacana
atau bahasa yang sedang melakukan suatu proses sosial tertentu tersebut dinamakan juga
register atau variasi bahasa berdasarkan konteks penggunaannya. (Halliday & Hasan, 1985;
Kouletaki, 1999). Konsep register ini berbeda dengan konsep register yang dikemukakan
oleh Martin (1992: 2003), yang lebih merujuk pada konfigurasi kontekstual medan, pelibat,
dan sarana.
Dengan demikian, wacana dapat dipahami sebagai bahasa yang sedang digunakan
untuk merealisasikan fungsi sosial tertentu di dalam konteks situasi dan konteks kultural
tertentu. Jika ditarik hubungan lebih dalam lagi antara konteks, fungsi bahasa, dan unit-unit
wacana, akan terlihat dalam gambar berikut.
ideasional
interpersonal
tekstual
pelibat sarana
medan
116 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Gambar 5 Hubungan antara Konteks, Metafungsi, dan Unit Wacana
Konteks Situasi Medan Pelibat Sarana
Fungsi Bahasa Ideasional Interpersonal Tekstual
Semantik Wacana Ideasi, Kohesi,
Struktur Teks
Appraisal Periodisitas
Gramatika Transivitas,
dll.
Modus Tema/Rema
Leksis Deskriptif Atitudinal Kongruent &
Inkongruent
Fonologi & Grafologi
Aspek konteks situasi medan berkaitan erat dengan makna ideasional. Pada
tingkat semantik wacana, makna ideasional direalisasikan ke dalam ideasi (hubungan
antarpartisipan), kohesi, dan struktur teks. Pada tingkat tata bahasa, makna ideasional
direalisasikan dalam transitivitas, klausa kompleks, kelompok kata. Sementara itu, pada
tingkat leksis (kata dalam konteks), makna ideasional direalisasikan dalam sistem leksis
deskriptif.
Pelibat berkaitan dengan metafungsi interpersonal. Makna interpersonal pada
tingkat semantik wacana direalisasikan dengan sistem appraisal. Pada tingkat tata bahasa
makna interpersonal direalisasikan dengan sistem mood pada klausa, sedangkan pada tingkat
leksis makna interpersonal direalisasikan dengan sistem leksis atitudinal. Sarana berkaitan
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 117
dengan makna tekstual. Pada tingkat semantik wacana makna tekstual direalisasikan dengan
sistem periodisitas. Pada tingkat tata bahasa makna tekstual direalisasikan pada struktur
tema. Pada tingkat leksis, makna tekstual ini direalisasikan dengan sistem inkongruensi.
Dengan demikian, semua tingkatan sistem tersebut direalisasikan dalam bentuk bunyi
dalam sistem fonologi dan dalam bentuk tulisan dalam sistem grafologi.
4. Wacana dan Teks sebagai Realisasi Proses Sosial
Wacana dan teks dapat muncul dalam proses sosial kebahasaan dan nonkebahasaan.
Di dalam proses sosial kebahasaan, wacana merealisasikan perilaku verbal yang menjadi
sentral atau dominan, sedangkan di dalam proses sosial nonverbal menjadi periferal.
Artinya, pencapaian tujuan proses sosial kebahasaan ini direalisasikan melalui wacana.
Dengan demikian, wacana mengandung nilai-nilai dan norma-norma kultural yang
dimiliki oleh suatu masyarakat. Tipe teks atau wacana, seperti musyawarah di dalam
masyarakat tradisional, upacara adat suku Kiriwian, dan diskusi di dalam masyarakat
Barat, merupakan contoh wacana atau teks yang menghadirkan nilai dan norma kultural
dari masyarakatnya. Contoh lain, tipe teks debat yang terdapat di parlemen negara Barat,
teks esai, atau wawancara televisi menunjukkan bahwa sebuah teks juga dibentuk dengan
kandungan ideologis partisipannya. Kandungan ideologis dalam teks akan tampak pada
bentuk perubahan atau keinginan untuk mempertahankan atau menentang sebuah status
quo yang terdapat di dalam teks. Dalam pengertian seperti ini, akhirnya teks merupakan
fenomena linguistis yang dibentuk secara sosio-kultural dan ideologis.
Sementara itu, di dalam proses sosial nonkebahasaan, wacana hanya memerankan
fungsi periferal. Fungsi utama proses sosial tersebut direalisasikan melalui aktivitas
nonkebahasaan. Sepak bola, tenis, kerja bakti, dan sebagainya merupakan contoh proses
sosial nonkebahasaan tersebut. Di dalam proses sosial seperti itu peran bahasa sangat sedikit
dan tidak berperan membangun proses sosial secara keseluruhan.
5. Wacana dan Teks sebagai Proses dan Produk
Seperti yang telah dikemukakan di atas, keberadaan wacana dan teks selalu dikelilingi
oleh lingkungannya, baik fisik maupun nonfisik yang secara langsung mendukung
keberadaan suatu teks. Dengan kata lain, teks selalu berada di dalam konteksnya, yaitu
konteks situasi dan konteks kultural yang selalu mendampingi sebuah teks.
118 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Teks dan wacana tidak bisa ditentukan oleh panjang pendeknya berdasarkan jumlah
kata, kalimat, atau paragraf yang dimiliki suatu teks. Teks juga tidak bisa didefinisikan
sebagai ekstensi atau perluasan dari bentuk-bentuk gramatikal (kumpulan kata, kalimat,
dan paragraf). Suatu teks bisa hanya berupa satu kata, satu kelompok kata, satu kalimat, satu
paragraf dan bisa juga mencapai satu buku atau satu uraian panjang selama dua jam. Yang
terpenting ialah bahwa unit bahasa itu berada dalam konteks dan membawakan suatu fungsi
sosial tertentu. Sebagai contoh, sebuah papan yang bertuliskan ‘bahaya’, yang terpasang
pada gardu listrik di salah satu tiang di pinggir jalan, juga merupakan teks. Konteks teks
tersebut ialah medan yang berupa peringatan mengenai berbahayanya listrik yang terdapat
di gardu, tiang listrik dengan kabelnya yang terletak di pinggir jalan. Pelibatnya adalah
manajemen PLN dan orang yang lewat. Sarananya adalah papan bertuliskan ’bahaya’
mungkin dengan tanda ’kilat. Sementara itu, konteks kulturalnya adalah pengetahuan
mengenai listrik. Khususnya, listrik dengan tegangan tinggi bisa menyengat orang sampai
mati. Hal itu berarti papan yang bertuliskan ’bahaya’ di tiang listrik tersebut benar-benar
merupakan ’teks’ karena tiang tersebut terdapat bahaya listrik. Oleh karena itu, orang
yang melewati tiang tersebut tidak akan berani mendekati benda tersebut. Lain halnya
apabila papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut terdapat di keranjang sampah atau diletakkan
di dalam gudang. Orang akan berani memegang benda yang ditempati papan tersebut.
Orang sudah tahu bahwa benda tersebut tidak berbahaya walaupun terdapat papan yang
bertuliskan ‘bahaya’. Dalam keadaan itu papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut tidak lagi
sebuah teks karena sudah tidak berada di lingkungan yang sebenarnya atau sudah tidak
berada di dalam konteksnya. Papan yang bertuliskan ‘bahaya’ dalam keadaan seperti itu
sudah menjadi sampah atau hanya papan yang disimpan di gudang. Demikian halnya
tulisan yang terdapat di dalam buku akan masih dianggap teks apabila masih berada di
dalam konteksnya: buku yang disimpan, baik di perpustakaan pribadi maupun umum.
Apabila sudah dalam bentuk serpihan yang tercecer atau dalam bentuk bungkus makanan
misalnya, bagian tersebut sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai teks. Alasannya, orang
sudah sulit mencari lingkungan asal teksnya dan fungsi sosial teksnya yang disampaikan
di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa teks dan wacana adalah
bahasa yang sedang melaksanakan tugas untuk merealisasikan fungsi atau makna sosial
dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Oleh karena itu, teks atau wacana lebih
merupakan suatu sistem bahasa yang bersifat semantis dan sekaligus fungsional. Bahasa
yang digunakan (fonologi, grafologi, leksikogramatika, serta semantik wacananya)
merupakan pilihan linguistis penuturnya dalam rangka merealisasikan fungsi sosial teks.
Oleh karena itu, teks bukan lagi hanya sebuah perluasan bentuk gramatikal dari kumpulan
kata-kata atau kalimat-kalimat walaupun teks tentu saja mempunyai bentuk dan struktur.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 119
Dengan melihat kenyataan ini, teks dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, teks
dapat dipandang sebagai suatu ‘proses’, yaitu proses interaksi dan aktivitas sosial
antarpartisipannya dalam mengekspresikan fungsi sosialnya. Dalam contoh papan
bertuliskan ‘bahaya’, interaksi sosialnya diperoleh melalui proses mengidentifikasi pesan
melalui unit-unit kebahasaan dan konteks yang mengelilinginya. Dalam contoh pengajaran
di kelas, proses tersebut dapat diketahui melalui interaksi antara guru dan muridnya di
dalam urutan aktivitas sosial untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut dalam konteks
situasi dan kulturalnya. Teks sebagai proses juga terdapat pada proses pemilihan semantik
wacana, tata bahasa, leksis, serta sistem bunyi atau grafologinya agar sesuai dengan konteks
dan tujuan sosialnya. Kedua, teks dapat dipahami dalam bentuk sebuah ‘produk’. Sebagai
sebuah produk teks dapat direkam dalam bentuk audio dan visual dan dapat disimpan dan
dikeluarkan kembali untuk keperluan proses sosial lainnya. Dalam pengertian seperti ini
sebuah teks dapat didekonstruk, dipelajari, dan dianalisis untuk memperoleh elemen-elemen
linguistis, semantik, retoris, dan fungsionalnya secara sistemik sebelum dibangun kembali
untuk memperoleh sistem pemaknaan yang holistik yang terdapat di dalam teks tersebut.
6. Latihan Pengayaan
Guru perlu memperkaya pembelajaran dengan melanjutkan belajar pada aspekaspek
teori teks dalam sumber belajar yang lain. Sebelum melanjutkan pelajaran, jawablah
pertanyan-pertanyaan berikut ini dengan singkat. Berilah contoh untuk memperjelas
jawabannya.
1. Apakah wacana atau teks?
2. Apakah konteks situasi?
3. Apakah konteks budaya?
4. Ada berapakah metafungsi bahasa? Jelaskan!
5. Ada berapa tingkatkah sistem kebahasaan? Jelaskan!
6. Jelaskan hubungan antara konteks situasi metafungsi dan sistem kebahasaan!
7. Jelaskan wacana sebagai realisasi proses sosial kebahasaan!
8. Jelaskan wacana atau teks sebagai realisasi prosial kebahasaan!
9. Jelaskan teks sebagai produk!
10. Jelaskan teks sebagai proses!
120 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
B. Register dan Gaya Bahasa
1. Pengertian Register
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan
penggunaannya (use). Register berbeda dengan dialek, yang merupakan variasi bahasa
berdasarkan penggunanya (user). Dalam pengertian ini, register tidak terbatas pada variasi
pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam teori tradisional), tetapi juga termasuk
dalam pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, yaitu kohesi, leksikogramatika,
serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register meliputi seluruh pilihan aspek
kebahasaan atau linguistis berdasarkan konteks dan tujuannya, banyak para ahli bahasa
atau linguis menyebut register sebagai style atau gaya bahasa (Fowler, 1989). Variasi pilihan
bahasa pada register bergantung pada konteks situasi, yang meliputi tiga variabel: medan
(field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) yang bekerja secara simultan untuk membentuk
konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.
Sementara itu, variasi bahasa pada dialek berdasarkan pada letak geografis dan strata
sosial. Berdasarkan letak geografis, misalnya, di dalam Bahasa Jawa terdapat dialek Jawa
Timur, Jawa Pesisir, Surakarta, Yogyakarta, dan Banyumas. Berdasarkan strata sosial,
dialek didasarkan pada struktur hierarkis di dalam sistem kekerabatan, struktur hierarkis
status sosial, struktur hierarkis profesi. Misalnya, di dalam Bahasa Jawa terdapat Bahasa
Jawa Ngoko, Kromo Madya, dan Krama Inggil. Secara umum, Halliday (dalam Halliday
dan Hasan, 1985) membedakan register dan dialek sebagai berikut.
Dialek Register
● Variasi bahasa berdasarkan ‘user’;
dialek merupakan variasi bahasa
yang digunakan setiap hari; dan
ditentukan oleh geografis atau
sosiologis ‘siapa Anda’ (daerah dan/
atau asal kelas sosial dan/atau kelas
sosial yang diadopsi.
● Dialek menunjukkan asal geografis
dan struktur sosial atau tipe hierarki
sosial penggunanya.
● Variasi bahasa berdasarkan ‘use’-
nya. Register adalah bahasa yang
digunakan pada saat tertentu dan
ditentukan oleh apa yang Anda
kerjakan, dengan siapa, dan dengan
menggunakan sarana apa.
● Register menunjukkan tipe proses
sosial yang sedang terjadi.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 121
● Oleh karena itu, pada dasarnya dialek
mengatakan hal yang sama secara
berbeda. Maka dialek cenderung
berbeda dalam hal: fonetik, fonologi,
kosakata, dan dalam beberapa hal
tata bahasa, tetapi tidak pernah
berbeda di dalam semantik.
● Contoh ekstrem dialek ini adalah
‘anti-bahasa’, prokem, dan ‘bahasa
ibu’.
● Contoh lainnya adalah variasi
subkultur: kasta, kelas sosial,
keaslian (rural atau urban), generasi
(orang/anak), usia (tua/muda),
dan seks (pria/wanita) (lihat juga
Chambers dan Trudgill, 1980; Lyons,
1981 untuk membandingkannya
dengan register)
● Oleh karena itu, pada hakekatnya
register mengatakan hal yang
berbeda. Maka register cenderung
berbeda dalam bidang semantik.
Oleh karena itu, berbeda tata
bahasa dan kosakatanya (sebagai
ekspresi makna), tetapi jarang
berbeda dalam fonologinya
(menuntut kualitas suara yang
khas).
● Contoh ekstrem register adalah
bahasa terbatas dan bahasa untuk
tujuan khusus.
● Contoh lainnya adalah variasi
profesi (ilmiah, teknologis),
kelembagaan (doktor-pasien;
guru-murid) dan konteks-konteks
lain yang mempunyai struktur dan
strategi tertentu (seperti dalam
diskusi, belanja, dan ngobrol)
(diambil dari Halliday dan Hasan, 1985 dengan modifikasi)
Yang perlu diperhatikan selanjutnya ialah bahwa di dalam dialek anggota
masyarakat terdapat ikatan afektif yang sangat kuat dengan dialeknya karena dialek
dapat mengekspresikan identitas daerah dan struktur sosial. Di samping itu, dialek dapat
digunakan sebagai media komunikasi untuk mengatur hierarki sosialnya. Oleh karena
itu, dialek akan mempunyai status tertentu sebagai simbol suatu masyarakat. Sebaliknya,
register ditentukan oleh konfigurasi semantik yang secara khusus dihubungkan dengan
konteks situasi tertentu (seperti yang ditentukan oleh medan, pelibat, dan sarana tertentu).
122 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Garis batas antara register dan dialek tidak selalu kelihatan jelas. Ada titik-titik
tertentu yang menunjukkan bahwa dialek dan register tumpang-tindih. Misalnya, dalam
dunia kerja terdapat pembagian tingkatan pekerja: buruh, staf pegawai, manager, dan
direktur. Setiap anggota tingkatan mempunyai ciri dan peran sosial yang berbeda. Anggota
setiap tingkatan tersebut mempunyai register dan sekaligus dialek. Sebagai buruh, manager,
atau direktur, mereka mempunyai ciri kebahasaan yang sesuai dengan jabatannya. Akan
tetapi, ketika mengadakan pertemuan, buruh, manager, dan direktur menggunakan juga
register pertemuan untuk mencapai tujuan pertemuan tersebut. Dengan demikian, di dalam
bahasa tersebut terdapat percampuran antara bahasa buruh, manager, dan direktur sebagai
dialek dan bahasa pertemuan sebagai register.
Dalam kasus lain, misalnya, banyak penelitian di dalam dunia pendidikan pada
anak-anak yang berasal dari kelas sosial yang berbeda. Di dalam sekolah, misalnya, anakanak
yang berasal dari kelas sosial menengah dan atas dapat dengan mudah mengikuti
pelajaran sekolah karena mereka sudah terbiasa dengan register sekolah atau ‘elaborate
codes’ dengan baik. Hal itu terjadi karena di rumah mereka diperkenalkan bahasa sekolah
oleh orang tua mereka. Pada saat yang sama, anak-anak dari kalangan kelas sosial bawah
mendapat kesulitan dengan pelajaran sekolah karena bahasa yang diperkenalkan oleh orang
tua mereka merupakan bahasa terbatas ‘restricted codes’ yang masing-masing dipengaruhi
oleh dialek di lingkungan mereka (Bernstein dalam Cook-Gumperz, 1986).
Banyak penelitian sejenis yang menunjukkan hasil yang sama, misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Brian Gray (1986) yang meneliti bahasa anak sekolah orang kulit
putih dengan anak aborigin di Australia, kemudian Michaels dan Heath yang melihat
bahasa anak dan orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat. Anak aborigin dan
anak kulit hitam mendapat kesulitan untuk memahami register sekolah karena di rumah
mereka hanya mengenal dialek mereka (dalam Cook-Gumperz, 1986).
2. Register dan Gaya Bahasa
Seperti yang telah disebutkan di atas, register merupakan konsep semantis yang
dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara medan, pelibat,
dan sarana di dalam konteks situasi tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi
penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di
dalam konfigurasi itu. Dengan demikian, register merupakan tidak hanya konsep bentuk,
tetapi juga sebetulnya konsep makna. Di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register
memerlukan bentuk-bentuk ekspresi tertentu. Hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi
diperlukan untuk mengungkapkan makna yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut.
Dalam pengertian ini, register sama dengan pengertian style atau gaya bahasa, yaitu suatu
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 123
varian bahasa berdasarkan penggunaannya (lihat Lyons, 1990, 1987). Bahkan, Fowler
(1989) mengatakan bahwa register atau gaya bahasa termasuk bahasa yang digunakan dalam
karya sastra, seperti puisi, novel, atau drama. Meskipun Fowler berpendapat demikian, para
sastrawan mengklaim bahwa karya sastra merupakan dunia kreasi tersendiri. Bahasa sastra
merupakan sistem semiotika tingkat kedua (second order semiotic system). Bahasa hanya
sebagai medianya yang hanya merupakan sistem semiotika tingkat pertama (first order
semiotic system). Menurut Fowler (1989), keseluruhan sistem semiotik tersebut, baik yang
tingkat pertama maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan
sebagai media karya sastra tersebut.
Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang
terjadi: apa yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan
kejadian, seperti kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, dan mengapa kejadian itu
terjadi. Di dalam contoh ‘mengajar’ di atas, medan merujuk pada peristiwa mengajarnya itu
sendiri, yaitu cara yang digunakan dalam mengajar ( seperti ceramah), topik yang dibahas,
tempat dan waktu mengajar, serta tujuan mengajar. Aspek medan ini di dalam teks dapat
dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi, transitivitas, sistem klausa, sistem kelompok,
nomina, verba, atau adjektiva, serta sistem leksis: abstraksi dan teknikalitas, serta ciri-ciri
dan kategori semantiknya.
Pelibat (tenor) merujuk pada siapa yang berperan di dalam kejadian sosial tersebut,
sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: peran sosial yang
bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau peran permanen
atau sesaat. Di samping itu, pelibat juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan untuk
mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam contoh di atas
yang termasuk di dalam pelibat ialah partisipan (guru dan murid serta hubungan peran
dan status sosial mereka seperti yang tampak pada bahasa yang mereka gunakan untuk
mengekspresikan hubungan peran serta status sosial mereka masing-masing). Aspek
pelibat juga mempunyai tiga subbagian, yaitu afek, status, dan kontak. Afek ialah penilaian
(assesment, evaluation, dan judgement) antarpartisipan di dalam teks. Penilaian ini secara
umum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu penilaian positif atau negatif. Akan tetapi,
di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen
semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya, untuk penilaian positif dapat
dikatakan apakah partisipannya mendukung, menyetujui pendapat partisipan yang lain,
apakah partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain, dan
sebagainya. Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang menyerang,
mengkritik, mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya.
Berdasarkan penilaian itu kita dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan
yang lain. Dalam sistem kebahasaan afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem fonologi/
124 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau proposal,
transitivitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek pelibat yang
kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran partisipannya.
Secara umum, hubungan peran dan status sosial ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
hierarkis/vertikal, dan nonhierarkis/horizontal. Di dalam analisis, status sosial dan hubungan
peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial apa yang sedang
diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran sosial partisipan
lebih bersifat otoriter: tertutup seperti atasan-bawahan atau dokter-pasien atau mungkin
lebih bersifat demokratis: terbuka seperti hubungan antaranggota parlemen, antardosen,
atau antarmahasiswa. Secara semiotis, hubungan status dan peran sosial ini dapat dilihat
melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau atitudinal, struktur mood: proposisi atau
proposal, transitivitas, struktur tema, kohesi, dan struktur teks beserta genrenya. Sub-aspek
yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi penggunaan bahasa yang sedang digunakan di
dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang sedang digunakan tersebut familiar atau tidak.
Artinya, semua partisipan yang terlibat di dalamnya memahami dan mengerti bahasa yang
sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal) tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut,
kontak ini menyangkut tingkat keterbacaan (readability) suatu teks yang sedang digunakan,
maksudnya apakah teks itu terlalu sulit, sulit, mudah, atau terlalu mudah untuk dimengerti.
Untuk mencari tahu kontak (familiaritas dan keterbacaan ini) seluruh aspek kebahasaan,
dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terendah (struktur teks: jelas pembukaan,
isi, dan penutupnya atau membingungkan, linier atau spiral, kohesi: rujukannya jelas atau
membingungkan, sistem klausanya: simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks
dengan embbeding, sistem grupnya (nomina, verba, adjunct): simpleks atau kompleks,
sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, menggunakan abstraksi atau teknikalitas,
serta fonologi atau grafologinya harus diukur.
Akhirnya, sarana (mode) merujuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, apa
yang diharapkan partisipan dengan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu itu:
organisasi simbolis teks, status yang dimilikinya, fungsinya di dalam konteks tersebut,
termasuk saluran (channel), apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis
atau lisan atau gabungan. Termasuk di dalam sarana ialah makna retorisnya: apa yang
diinginkan teks tersebut termasuk dalam kategori: persuasif, ekspositori, didaktis, atau
yang lainnya. Di samping itu, aspek sarana ini juga melibatkan medium yang digunakan
untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah mediumnya bersifat lisan dengan oneway
atau two-way communication: audio, audio-visual, visual, misalnya tutorial, pidato,
siaran radio, atau televisi, dialog, seminar, atau khotbah; atau tulis/cetak yang bersifat
komunikasi satu arah atau dua arah, seperti koran, majalah, tabloid, spanduk, papan iklan,
atau surat menyurat.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 125
Dalam contoh lain yang termasuk di dalam aspek sarana ialah varian bahasa lisan:
ngok dan kromo yang digunakan oleh partisipan di dalam medium rembug desa atau
sarasehan. Teks dan wacana yang digunakan merupakan satu-kesatuan aktivitas sosial yang
bersifat persuasif dengan argumen logis atau hortatoris serta mediumnya ialah musyawarah
dengan berbagai aturan tempat dan tata letak (proksemik), cara bermusyawarah, dan lainlain.
Secara terperinci gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu gaya lisan dan gaya
tulis. Gaya lisan atau tulis ini tidak terkait erat dengan apakah bahasa itu diucapkan atau
ditulis. Akan tetapi, gaya lisan dan gaya tulis ini diklasifikasikan berdasarkan sifat alamiah
bahasa yang sedang digunakan (the nature of language). Sebenarnya, pembagian gaya
bahasa lisan atau tulis ini tidak semata-mata bersifat dikotomis, tetapi perbedaan itu lebih
merupakan suatu kontinum. Artinya, bahasa yang kita gunakan sehari-hari dapat jatuh pada
garis kontinum, yaitu lebih bersifat lisan, cenderung lisan, tengah-tengah antara lisan dan
tulis, cenderung tulis, atau lebih bersifat tulis.
Kontinum Gaya Bahasa Lisan dan Tulis
lisan tulis
cenderung lisan lisan-tulis cenderung tulis
Akan tetapi, di dalam realitas sehari-hari variasi gaya bahasa dapat jauh lebih banyak
jika dibanding dengan pembagian di atas. Ada gaya bahasa yang jatuh pada titik kontinum
antara lisan dan cenderung lisan, antara cenderung lisan dan lisan-tulis, antara lisan-tulis
dan cenderung tulis, dan antara cenderung tulis dan tulis yang bergantung pada konteks
situasinya.
Sementara itu, ciri-ciri gaya bahasa lisan atau tulis ini pada dasarnya dibedakan
menurut tingkat keabstrakan atau cair dan tidak cairnya bahasa yang digunakan. Bahasa
lisan secara keseluruhan lebih konkret dan encer, sedangkan bahasa tulis lebih abstrak dan
kaku. Pada sistem kebahasaan keabstrakan dan kepadatan bahasa dapat dilihat melalui
sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, kepadatan leksikalnya: perbandingan antara
leksis gramatikal dan leksis konten, sistem klausanya: simpleks atau kompleks, sistem
kelompok nomina: simpleks atau kompleks, sistem gramatikanya: merujuk pada situasi
komunikasi searah atau dua arah, serta penggunaan aspek kohesi tertentu. Lebih lanjut,
perbedaan bahasa lisan dan tulis dapat dirangkum sebagai berikut.
126 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Perbedaan Bahasa Lisan dan Tulis
Bahasa Lisan Bahasa Tulis
• Sistem leksisnya lebih kongruen
( s i s tem penyimpulannya
langsung), serta lebih encer karena
sedikit abstraksi dan teknikalitas,
rasio antara leksis konten dan
gramatikalnya lebih dari 0,5.
• Sistem leksisnya lebih inkongruen
(penyimpulannya secara tidak
langsung), serta padat karena banyak
abstraksi dan teknikalitas, rasio
leksis konten dan gramatikalnya
lebih banyak kurang dari 0,5.
• Penggunaan gramatikalnya lebih
merujuk pada situasi komunikasi
dua arah, misalnya penggunaan
vokatif (gramatika untuk
memanggil seseorang), seperti
John, sayang, Pak. Penggunaan
kata ganti orang kedua: kamu,
Anda dengan variasi pronomina
orang keduanya: seperti Anda
sekalian.
• Penggunaan gramatikalnya lebih
merujuk pada situasi komunikasi
satu arah. Tidak ada vokatif, tidak
menggunakan kata ganti orang
kedua.
• Sistem klausanya lebih bersifat
kompleks karena klausa kompleks
secara jelas menunjukkan
hubungan logis antara kejadian
yang satu dan yang lainnya. Klausa
kompleks dengan kata sambung
(eksternalnya): dan, tetapi, atau,
walaupun, karena, sehingga,
setelah, sebelum, dan lain-lain
membuat logika lebih mudah
dimengerti.
• Sistem klausanya lebih bersifat
simpleks karena penggunaan klausa
simpleks lebih menutupi hubungan
logis antara kejadian yang satu
dan kejadian yang lain. Jika suatu
teks banyak menggunakan klausa
simpleks, logika sering diekspresikan
secara implisit atau menggunakan
kata sambung internal yang biasanya
terletak pada bagian depan klausa
simpleks (kalimat simpleks),
misalnya Sementara itu, Oleh karena
itu, Lebih lanjut, Pada sisi lain, dan
sebagainya.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 127
• Sistem grupnya (nomina, verba,
dan adjunct) lebih bersifat
simpleks karena grup simpleks ini
lebih jelas entitasnya (nomina),
prosesnya (verba), serta lebih jelas
sirkumstan-nya (adjunct).
• Sistem grupnya lebih bersifat
kompleks, terdapat pre dan post
modifier (embedding) di dalam
kelompok nominanya dengan
verba ganda serta modifiernya
pada kelompok verba, serta adanya
embedding frasa benda di dalam
kelompok adjunct.
• Sistem kohesi yang digunakan
banyak menggunakan repetisi
karena dengan repetisi rujukkannya
menjadi lebih jelas; adanya elipsis
yang membuat teks, seperti wacana
percakapan.
• Sistem kohesinya jarang
menggunakan repetisi, hanya
jika terpaksa untuk menghindari
ambiguitas rujukan. Tidak adanya
penggunaan elipsis yang membuat
seolah-olah seperti wacana
percakapan.
Karena tingkat abstraksi dan keenceran gaya bahasa lisan atau tulis ini, sering gaya
bahasa lisan atau tulis ini dikaikan dengan ragam bahasa lainnya. Misalnya, anak sering
menggunakan bahasa ragam lisan karena tingkat pemikiran anak yang lebih konkret serta
logika anak yang sederhana untuk mengekspresikan hubungan kejadian yang satu dengan
kejadian yang lainnya. Sementara itu, orang tua sering menggunakan ragam bahasa yang
lebih cenderung tulis karena orang tua lebih banyak berpikir secara abstrak dengan logika
yang lebih rumit. Kemudian, bahasa akademik lebih bersifat lisan karena sistemnya secara
keseluruhan lebih abstrak dan logika implisit dan leksis yang lebih padat. Sementara itu,
bahasa awam lebih cenderung bergaya lisan karena orang awam lebih berpikir konkret dan
lebih encer dengan logika yang lebih eksplisit.
Dengan asumsi itu, setiap ragam bahasa, seperti ragam jurnalistik, hukum, sastra,
atau seni dapat dikategorikan menurut gaya bahasa lisan atau tulis dengan berbagai
kecenderungannya. Untuk memberikan contoh yang lebih jelas, lihat teks berikut ini.
Teks yang diambil dari teks iklan ini akan dilihat aspek-aspek konteks situasinya: medan,
pelibat, dan sarananya. Selain itu, subaspek perlibat: afek, status, dan kontak, serta subaspek
saran: channel dan medianya juga akan dibahas.
128 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
3. Contoh Register dalam Teks
Provikid
Untuk Balita Ibu
Ibu, si Kecil ingin tumbuh sehat dan kuat.
Bahkan, mulai 1 tahun, dia makin perlu tambahan gizi, kalsium, serta vitamin
sebagai bekal untuk melangkah lincah menjelajahi dunia.
Itu sebabnya dia perlu PROVIKID, minuman kaya gizi, kalsium, dan
vitamin dengan kadar lemak rendah.
Agar si Kecil tak cuma tumbuh sehat, tetapi juga lincah bersemangat
Tumbuh Sehat kuat tanpa jadi boom ...
(diambil dari majalah Bobo)
Deskripsi konteks situasinya:
Medan: iklan susu kaleng PROVIKID dari dunia usaha/bisnis dalam usahanya untuk
mempromosikan salah satu produknya.
Pelibat: pengiklan sebagai orang yang bergerak dalam bidang jasa; produsen susu kaleng
Provikid yang memesan jasa pada pengiklan serta audien: anak balita dan ibu.
Sarana : tulis untuk dipublikasikan di dalam media massa;
majalah anak-anak: Bobo dengan tambahan logo; dan
pewarnaan dan ilustrasinya; teksnya bersifat ekspositori argumentatif.
Iklan merupakan dunia komunikasi massa yang khas yang digunakan untuk
mempromosikan produk. Iklan bermacam-macam menurut media yang digunakan: audio,
audio visual, visual, dan cetak. Secara teoritis, iklan mempunyai kekuatan yang berbedabeda
menurut medianya. Dalam prosesnya, produsen susu kaleng tersebut memesan
pengiklan untuk mempromosikan produknya dengan cara membayar uang sebagai pengganti
jasanya. Dalam proses ini, produsen menjadi sangat penting karena ia yang memesan jasa
tersebut. Bagaimana isi iklan, siapa yang dituju, bentuk iklan bagaimana, produsen yang
menentukan hasil akhir iklan agar konsumen membeli produknya. Di dalam teks di atas
pengiklan memvisualisasikan diri dalam wujud kelinci yang pintar berbicara. Sementara itu,
audien diwujudkan dalam bentuk anak balita laki-laki dan perempuan di dalam ilustrasinya,
sedangkan audien ibu (orang tua) terlihat di dalam teks. Medium majalah anak-anak Bobo
yang dipilih oleh produsen karena melihat audiennya adalah anak balita dan ibu yang
dianggap menjadi pembaca majalah ini.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 129
Inilah yang sebetulnya disebut konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna
yang dibentuk oleh konteks situasi: medan, pelibat, dan sarananya serta secara tidak
langsung konteks kultural, yang dalam hal ini ialah komunikasi massa periklanan cetak.
Konfigurasi itu jelas sekali akan membatasi penggunaan bahasanya serta memprediksi
makna keseluruhan teks terhadap audiennya.
4. Latihan Pengayaan
Sebelum melanjutkan belajar pada materi pengayaan lain, guru perlu menjawab
pertanyan-pertanyaan berikut ini dengan singkat. Berilah contoh untuk memperjelas
jawabannya.
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan register!
2. Apakah perbedaan antara register dan dialek!
3. Jelaskan dan berikan contoh kapan register dan dialek bertumpang tindih!
4. Jelaskan bagaimana register berfungsi sebagai gaya bahasa!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan gaya bahasa lisan dan tulis!
6. Carilah sebuah teks pendek secara berkelompok, kemudian analisis medan, pelibat,
dan sarananya. Temukan konfigurasi kontekstualnya!
teks yang akan dijadikan bahan pengayaan mencakupi teks dan wacana serta register dan
gaya bahasa. Teks dan wacana mencakupi pengetian wacana dan teak, konteks, metafungsi
bahasa, wacan dan teks sebagai realisasi proses social, wacana dan teks sebagai proses dan
produk, dan latihan pengayaan. Register dan gaya bahasa mencakupi pengertian register,
register dan gaya bahasa, contoh register dan teks, serta latihan pengayaan.
A. Wacana dan Teks
1. Pengertian Wacana dan Teks
Sebagian ahli bahasa membedakan istilah wacana dengan istilah teks. Misalnya,
Widdowson (1980) menggolongkan istilah wacana sebagai bahasa yang digunakan untuk
merujuk ragam bahasa yang dihasilkan secara lisan. Dialog seperti percakapan, diskusi,
wawancara dan monolog seperti pidato, pembacaan berita radio dan televisi digolongkannya
sebagai wacana. Sebaliknya, tulisan berita, tajuk rencana, buku, dokumen, dan sebagainya
dimasukkannya sebagai teks. Sementara itu, ahli bahasa lain seperti Halliday (1985) dan
koleganya menggunakan istilah wacana dan teks untuk merujuk pada ragam bahasa lisan
dan tulis. Mereka beralasan bahwa baik bahasa lisan maupun tulis merupakan produk
suatu proses sosial.
Wacana dan teks adalah bahasa (baik lisan maupun tulis) yang sedang melakukan
fungsinya di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Wacana dapat dipahami
sebagai suatu konstruk (bangunan) yang dibentuk melalui sistem fungsi atau makna dan
sistem bentuk linguistik/kebahasaan secara simultan (bersama-sama/pada waktu yang
sama). Secara fungsional, wacana digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau
fungsi proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural (Butt, Fahey,
Spinks, & Yalop, 1998; Halliday, 1994). Secara fungsional, wacana merupakan sejumlah
unit simbol kebahasaan yang digunakan utnuk merealisasikan realitas pengalaman dan
logika (ideasional), realitas sosial (interpersonal), dan sekaligus realitas tekstual/semiotik
(simbol). Sementara itu, secara sistemik, wacana merupakan bahasa yang terdiri atas
sejumlah sistem atau unit kebahasaan yang secara hierarkis bekerja secara simultan dan
sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem yang lebih
tinggi, leksikogramatika, semantik wacana, dan struktur teks. Setiap peringkat tidak dapat
dipisahkan karena peringkat itu merupakan organisme yang mempunyai peran yang saling
terkait dalam merealisasikan makna holistik atau tujuan sosial suatu wacana (Halliday,
1985a; Halliday, 1994). Di dalam buku ini wacana, teks, dan bahasa digunakan untuk
merujuk ragam bahasa lisan dan tulis.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 111
2. Konteks
Wacana selalu berada pada lingkungan atau konteksnya. Konteks tersebut terdiri atas
konteks kultural dan konteks situasi. Konteks kultural merupakan sistem nilai dan norma
yang merepresentasikan suatu kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sistem nilai itu
termasuk apa-apa yang dipercaya (benar dan salah, baik dan buruk), termasuk di dalamnya
ideologi, yang mengatur faktor sosial yang berlaku umum dalam suatu kebudayaan (Philips
dalam Bhatt, 2002). Pada sisi lain, norma dipandang sebagai realisasi sistem nilai di dalam
bentuk aturan yang mengawal proses sosial, apa yang harus dan tidak harus, boleh dan
tidak boleh dikerjakan anggota masyarakatnya di dalam melakukan suatu proses sosial.
Sementara itu, konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang berada di dalam
wacana. Menurut Halliday (1985a; 1994; Halliday & Hasan, 1985; Martin, 1992) konteks
situasi terdiri atas tiga aspek: medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode), yang bekerja
secara simultan membentuk suatu konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Jika
digambarkan, hubungan antara konteks kultural, konteks situasi, dan wacana bahasa yang
sedang melaksanakan fungsi sosialnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1 Hubungan antara Wacana, Konteks Situasi, dan Konteks Kultural
(dimodifikasi dari Martin and Rose, 2003)
konteks kultural
konteks situasi
bahasa
112 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Konfigurasi kontekstual ini akan menentukan ekspresi (bentuk) dan makna
kebahasaan (register) yang digunakan untuk merealisasikan proses sosial. Medan merujuk
pada suatu kejadian dengan lingkungannya, yang sering diekspresikan dengan apa yang
terjadi, kapan, di mana, dan bagaimana terjadinya. Pelibat merupakan tipe partisipan
yang terlibat di dalam kejadian tersebut serta status dan peran sosial yang dilakukan oleh
partisipan tersebut. Sementara itu, sarana meliputi dua aspek, yaitu saluran (channel) dan
medium. Saluran merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian
tersebut. Saluran ini meliputi aspek gaya bahasa yang digunakan untuk merealisasikan
kejadian (lisan atau tulis). Aspek medium digunakan untuk menyalurkan proses sosial
tersebut. Medium ini dapat berupa medium lisan atau tulis, medium audio, visual, atau
audiovisual. Jika digambarkan, konfigurasi ketiga aspek konteks situasi dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 2 Konfigurasi Aspek Konteks Situasi
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Pengertian konteks situasi ini sering diperdebatkan apakah sebetulnya konteks ini
bersifat dinamis atau sinoptis atau statis. Model dinamik konteks situasi menunjukkan
bahwa konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna dapat berubah secara dinamis
sepanjang wacana. Sejumlah ahli memanfaatkan model ini ketika mereka menganalisis
wacana lisan, seperti dalam percakapan, seminar, atau debat. Di dalam wacana seperti ini
aspek medan, pelibat, dan sarananya dapat berubah sepanjang wacana berjalan menuju
tujuan yang dicapai (O'Donnell, 1999). Sementara itu, model sinoptik atau statik mempunyai
konfigurasi kontekstual yang lebih mapan sepanjang wacana. Oleh karena itu, model ini
sering digunakan di dalam menganalisis wacana tulis, seperti editorial dan berita yang
mempunyai konfigurasi kontekstual lebih mapan jika dibanding dengan wacana lisan.
medan
pelibat sarana
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 113
3. Metafungsi Bahasa
Halliday dan Hasan (1985), Halliday (1994), dan Thomson (2004) mengatakan bahwa
wacana (baik lisan maupun tulis) mengandung tiga metafungsi, yaitu ideasional (yang
terdiri atas pengalaman dan logika), interpersonal, dan tekstual. Metafungsi pengalaman
mengekspresikan makna atau realitas pengalaman, sedangkan metafungsi logika
merealisasikan makna logis (logico-semantic) atau realitas logis yang menghubungkan
antarpengalaman tersebut. Realitas pengalaman meliputi pengalaman manusia dalam
merekonstruksi (membangun) lingkungannya melalui bahasa. Realitas pengalaman itu
meliputi pengalaman melakukan aktivitas, pengalaman dalam menata benda atau yang
dibendakan, serta pengalaman dalam menata benda terhadap lingkungannya. Pengalaman
dalam melakukan aktivitas, termasuk aktivitas material, mental, verbal, relasional, dan
eksistensial. Pengalaman menyusun benda atau yang dibendakan, termasuk bagaimana
menyusun urutan benda dengan klasifikatornya, deskriptornya, numeriknya, deiktiknya,
dan tambahan informasinya. Pengalaman menata benda terhadap lingkungannya, termasuk
bagaimana benda itu diletakkan di dalam ruang fisik atau nonfisik, hubungannya dengan
benda lain di dalam lingkungan tersebut. Sementara itu, realitas logika adalah realitas yang
menghubungkan antarproses atau aktivitas manusia tersebut. Apakah hubungan aktivitas
tersebut bersifat aditif, komparatif, temporal, atau kausatif.
Metafungsi interpersonal wacana mencerminkan realitas sosial suatu wacana atau
makna yang terbangun dari hubungan antarpartisipan yang berada di dalamnya. Makna
interpersonal ini terdiri atas makna interaksional (makna yang mengekspresikan interaksi
antarpersonal) dan transaksional (makna yang mengekspresikan adanya transaksi informasi
dan atau barang/jasa). Makna tekstual mencerminkan kedua metafungsi (ideasional dan
interpersonal) ke dalam simbol. Di dalam wacana simbol tersebut disebut ekspresi tekstual,
yang juga mempunyai makna dan sistem tersendiri yang berbeda dalam setiap unit bahasa
dan berbeda dengan sistem semiotika lainnya.
Ketiga metafungsi tersebut bekerja secara simultan untuk merealisasikan tugas
yang diemban wacana tersebut di dalam suatu konteks penggunaan atau konteks situasi.
Jika digambarkan, sistem kerja ketiga metafungsi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
114 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Gambar 3 Konfigurasi Tiga Metafungsi
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Ketiga aspek konteks situasi tersebut mempunyai keterkaitan dengan tiga metafungsi
bahasa di dalam wacana: bahasa yang sedang melakukan fungsi sosialnya (Eggins & Martin,
1997; Rose, 2006). Medan berdekatan dengan metafungsi ideasional. Medan, seperti yang
disebutkan di atas, meliputi kejadian dan lingkungannya, sedangkan metafungsi ideasional
mengekspresikan makna pengalaman dan logikal. Pelibat berdekatan dengan metafungsi
interpersonal karena pelibat menggambarkan hubungan peran dan status sosial partisipan,
sedangkan metafungsi interpersonal mengekspresikan makna sosial: interaksional dan
transaksional. Sementara itu, aspek sarana berdekatan dengan metafungsi tekstual. Sarana
meliputi saluran (gaya bahasa) dan medium yang digunakan dalam bahasa, sedangkan
metafungsi tekstual merupakan sistem dan makna simbolis, ekspresi, atau tekstual suatu
wacana.
Hubungan kedekatan ketiga aspek konteks situasi dan ketiga metafungsi bahasa
dalam merealisasikan fungsi sosial suatu wacana di dalam suatu konteks kebudayaan dapat
dilihat pada gambar berikut.
ideasional
interpersonal tekstual
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 115
Gambar 4 Hubungan antara Aspek Konteks Situasi dan Metafungsi Bahasa
(dimodifikasi dari Martin, 1992)
Wacana juga merealisasikan nilai, norma kultural, dan proses sosial atau genre di
dalam konteks kultural. Dalam hal ini wacana sekaligus juga merealisasikan konfigurasi
makna di dalam konteks situasi serta metafungsi bahasa. Dengan demikian, wacana akan
berubah jika konteks kultural dan konteks situasinya berubah. Dalam konsep ini, wacana
atau bahasa yang sedang melakukan suatu proses sosial tertentu tersebut dinamakan juga
register atau variasi bahasa berdasarkan konteks penggunaannya. (Halliday & Hasan, 1985;
Kouletaki, 1999). Konsep register ini berbeda dengan konsep register yang dikemukakan
oleh Martin (1992: 2003), yang lebih merujuk pada konfigurasi kontekstual medan, pelibat,
dan sarana.
Dengan demikian, wacana dapat dipahami sebagai bahasa yang sedang digunakan
untuk merealisasikan fungsi sosial tertentu di dalam konteks situasi dan konteks kultural
tertentu. Jika ditarik hubungan lebih dalam lagi antara konteks, fungsi bahasa, dan unit-unit
wacana, akan terlihat dalam gambar berikut.
ideasional
interpersonal
tekstual
pelibat sarana
medan
116 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Gambar 5 Hubungan antara Konteks, Metafungsi, dan Unit Wacana
Konteks Situasi Medan Pelibat Sarana
Fungsi Bahasa Ideasional Interpersonal Tekstual
Semantik Wacana Ideasi, Kohesi,
Struktur Teks
Appraisal Periodisitas
Gramatika Transivitas,
dll.
Modus Tema/Rema
Leksis Deskriptif Atitudinal Kongruent &
Inkongruent
Fonologi & Grafologi
Aspek konteks situasi medan berkaitan erat dengan makna ideasional. Pada
tingkat semantik wacana, makna ideasional direalisasikan ke dalam ideasi (hubungan
antarpartisipan), kohesi, dan struktur teks. Pada tingkat tata bahasa, makna ideasional
direalisasikan dalam transitivitas, klausa kompleks, kelompok kata. Sementara itu, pada
tingkat leksis (kata dalam konteks), makna ideasional direalisasikan dalam sistem leksis
deskriptif.
Pelibat berkaitan dengan metafungsi interpersonal. Makna interpersonal pada
tingkat semantik wacana direalisasikan dengan sistem appraisal. Pada tingkat tata bahasa
makna interpersonal direalisasikan dengan sistem mood pada klausa, sedangkan pada tingkat
leksis makna interpersonal direalisasikan dengan sistem leksis atitudinal. Sarana berkaitan
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 117
dengan makna tekstual. Pada tingkat semantik wacana makna tekstual direalisasikan dengan
sistem periodisitas. Pada tingkat tata bahasa makna tekstual direalisasikan pada struktur
tema. Pada tingkat leksis, makna tekstual ini direalisasikan dengan sistem inkongruensi.
Dengan demikian, semua tingkatan sistem tersebut direalisasikan dalam bentuk bunyi
dalam sistem fonologi dan dalam bentuk tulisan dalam sistem grafologi.
4. Wacana dan Teks sebagai Realisasi Proses Sosial
Wacana dan teks dapat muncul dalam proses sosial kebahasaan dan nonkebahasaan.
Di dalam proses sosial kebahasaan, wacana merealisasikan perilaku verbal yang menjadi
sentral atau dominan, sedangkan di dalam proses sosial nonverbal menjadi periferal.
Artinya, pencapaian tujuan proses sosial kebahasaan ini direalisasikan melalui wacana.
Dengan demikian, wacana mengandung nilai-nilai dan norma-norma kultural yang
dimiliki oleh suatu masyarakat. Tipe teks atau wacana, seperti musyawarah di dalam
masyarakat tradisional, upacara adat suku Kiriwian, dan diskusi di dalam masyarakat
Barat, merupakan contoh wacana atau teks yang menghadirkan nilai dan norma kultural
dari masyarakatnya. Contoh lain, tipe teks debat yang terdapat di parlemen negara Barat,
teks esai, atau wawancara televisi menunjukkan bahwa sebuah teks juga dibentuk dengan
kandungan ideologis partisipannya. Kandungan ideologis dalam teks akan tampak pada
bentuk perubahan atau keinginan untuk mempertahankan atau menentang sebuah status
quo yang terdapat di dalam teks. Dalam pengertian seperti ini, akhirnya teks merupakan
fenomena linguistis yang dibentuk secara sosio-kultural dan ideologis.
Sementara itu, di dalam proses sosial nonkebahasaan, wacana hanya memerankan
fungsi periferal. Fungsi utama proses sosial tersebut direalisasikan melalui aktivitas
nonkebahasaan. Sepak bola, tenis, kerja bakti, dan sebagainya merupakan contoh proses
sosial nonkebahasaan tersebut. Di dalam proses sosial seperti itu peran bahasa sangat sedikit
dan tidak berperan membangun proses sosial secara keseluruhan.
5. Wacana dan Teks sebagai Proses dan Produk
Seperti yang telah dikemukakan di atas, keberadaan wacana dan teks selalu dikelilingi
oleh lingkungannya, baik fisik maupun nonfisik yang secara langsung mendukung
keberadaan suatu teks. Dengan kata lain, teks selalu berada di dalam konteksnya, yaitu
konteks situasi dan konteks kultural yang selalu mendampingi sebuah teks.
118 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Teks dan wacana tidak bisa ditentukan oleh panjang pendeknya berdasarkan jumlah
kata, kalimat, atau paragraf yang dimiliki suatu teks. Teks juga tidak bisa didefinisikan
sebagai ekstensi atau perluasan dari bentuk-bentuk gramatikal (kumpulan kata, kalimat,
dan paragraf). Suatu teks bisa hanya berupa satu kata, satu kelompok kata, satu kalimat, satu
paragraf dan bisa juga mencapai satu buku atau satu uraian panjang selama dua jam. Yang
terpenting ialah bahwa unit bahasa itu berada dalam konteks dan membawakan suatu fungsi
sosial tertentu. Sebagai contoh, sebuah papan yang bertuliskan ‘bahaya’, yang terpasang
pada gardu listrik di salah satu tiang di pinggir jalan, juga merupakan teks. Konteks teks
tersebut ialah medan yang berupa peringatan mengenai berbahayanya listrik yang terdapat
di gardu, tiang listrik dengan kabelnya yang terletak di pinggir jalan. Pelibatnya adalah
manajemen PLN dan orang yang lewat. Sarananya adalah papan bertuliskan ’bahaya’
mungkin dengan tanda ’kilat. Sementara itu, konteks kulturalnya adalah pengetahuan
mengenai listrik. Khususnya, listrik dengan tegangan tinggi bisa menyengat orang sampai
mati. Hal itu berarti papan yang bertuliskan ’bahaya’ di tiang listrik tersebut benar-benar
merupakan ’teks’ karena tiang tersebut terdapat bahaya listrik. Oleh karena itu, orang
yang melewati tiang tersebut tidak akan berani mendekati benda tersebut. Lain halnya
apabila papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut terdapat di keranjang sampah atau diletakkan
di dalam gudang. Orang akan berani memegang benda yang ditempati papan tersebut.
Orang sudah tahu bahwa benda tersebut tidak berbahaya walaupun terdapat papan yang
bertuliskan ‘bahaya’. Dalam keadaan itu papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut tidak lagi
sebuah teks karena sudah tidak berada di lingkungan yang sebenarnya atau sudah tidak
berada di dalam konteksnya. Papan yang bertuliskan ‘bahaya’ dalam keadaan seperti itu
sudah menjadi sampah atau hanya papan yang disimpan di gudang. Demikian halnya
tulisan yang terdapat di dalam buku akan masih dianggap teks apabila masih berada di
dalam konteksnya: buku yang disimpan, baik di perpustakaan pribadi maupun umum.
Apabila sudah dalam bentuk serpihan yang tercecer atau dalam bentuk bungkus makanan
misalnya, bagian tersebut sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai teks. Alasannya, orang
sudah sulit mencari lingkungan asal teksnya dan fungsi sosial teksnya yang disampaikan
di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa teks dan wacana adalah
bahasa yang sedang melaksanakan tugas untuk merealisasikan fungsi atau makna sosial
dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Oleh karena itu, teks atau wacana lebih
merupakan suatu sistem bahasa yang bersifat semantis dan sekaligus fungsional. Bahasa
yang digunakan (fonologi, grafologi, leksikogramatika, serta semantik wacananya)
merupakan pilihan linguistis penuturnya dalam rangka merealisasikan fungsi sosial teks.
Oleh karena itu, teks bukan lagi hanya sebuah perluasan bentuk gramatikal dari kumpulan
kata-kata atau kalimat-kalimat walaupun teks tentu saja mempunyai bentuk dan struktur.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 119
Dengan melihat kenyataan ini, teks dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, teks
dapat dipandang sebagai suatu ‘proses’, yaitu proses interaksi dan aktivitas sosial
antarpartisipannya dalam mengekspresikan fungsi sosialnya. Dalam contoh papan
bertuliskan ‘bahaya’, interaksi sosialnya diperoleh melalui proses mengidentifikasi pesan
melalui unit-unit kebahasaan dan konteks yang mengelilinginya. Dalam contoh pengajaran
di kelas, proses tersebut dapat diketahui melalui interaksi antara guru dan muridnya di
dalam urutan aktivitas sosial untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut dalam konteks
situasi dan kulturalnya. Teks sebagai proses juga terdapat pada proses pemilihan semantik
wacana, tata bahasa, leksis, serta sistem bunyi atau grafologinya agar sesuai dengan konteks
dan tujuan sosialnya. Kedua, teks dapat dipahami dalam bentuk sebuah ‘produk’. Sebagai
sebuah produk teks dapat direkam dalam bentuk audio dan visual dan dapat disimpan dan
dikeluarkan kembali untuk keperluan proses sosial lainnya. Dalam pengertian seperti ini
sebuah teks dapat didekonstruk, dipelajari, dan dianalisis untuk memperoleh elemen-elemen
linguistis, semantik, retoris, dan fungsionalnya secara sistemik sebelum dibangun kembali
untuk memperoleh sistem pemaknaan yang holistik yang terdapat di dalam teks tersebut.
6. Latihan Pengayaan
Guru perlu memperkaya pembelajaran dengan melanjutkan belajar pada aspekaspek
teori teks dalam sumber belajar yang lain. Sebelum melanjutkan pelajaran, jawablah
pertanyan-pertanyaan berikut ini dengan singkat. Berilah contoh untuk memperjelas
jawabannya.
1. Apakah wacana atau teks?
2. Apakah konteks situasi?
3. Apakah konteks budaya?
4. Ada berapakah metafungsi bahasa? Jelaskan!
5. Ada berapa tingkatkah sistem kebahasaan? Jelaskan!
6. Jelaskan hubungan antara konteks situasi metafungsi dan sistem kebahasaan!
7. Jelaskan wacana sebagai realisasi proses sosial kebahasaan!
8. Jelaskan wacana atau teks sebagai realisasi prosial kebahasaan!
9. Jelaskan teks sebagai produk!
10. Jelaskan teks sebagai proses!
120 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
B. Register dan Gaya Bahasa
1. Pengertian Register
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan
penggunaannya (use). Register berbeda dengan dialek, yang merupakan variasi bahasa
berdasarkan penggunanya (user). Dalam pengertian ini, register tidak terbatas pada variasi
pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam teori tradisional), tetapi juga termasuk
dalam pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, yaitu kohesi, leksikogramatika,
serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register meliputi seluruh pilihan aspek
kebahasaan atau linguistis berdasarkan konteks dan tujuannya, banyak para ahli bahasa
atau linguis menyebut register sebagai style atau gaya bahasa (Fowler, 1989). Variasi pilihan
bahasa pada register bergantung pada konteks situasi, yang meliputi tiga variabel: medan
(field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) yang bekerja secara simultan untuk membentuk
konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.
Sementara itu, variasi bahasa pada dialek berdasarkan pada letak geografis dan strata
sosial. Berdasarkan letak geografis, misalnya, di dalam Bahasa Jawa terdapat dialek Jawa
Timur, Jawa Pesisir, Surakarta, Yogyakarta, dan Banyumas. Berdasarkan strata sosial,
dialek didasarkan pada struktur hierarkis di dalam sistem kekerabatan, struktur hierarkis
status sosial, struktur hierarkis profesi. Misalnya, di dalam Bahasa Jawa terdapat Bahasa
Jawa Ngoko, Kromo Madya, dan Krama Inggil. Secara umum, Halliday (dalam Halliday
dan Hasan, 1985) membedakan register dan dialek sebagai berikut.
Dialek Register
● Variasi bahasa berdasarkan ‘user’;
dialek merupakan variasi bahasa
yang digunakan setiap hari; dan
ditentukan oleh geografis atau
sosiologis ‘siapa Anda’ (daerah dan/
atau asal kelas sosial dan/atau kelas
sosial yang diadopsi.
● Dialek menunjukkan asal geografis
dan struktur sosial atau tipe hierarki
sosial penggunanya.
● Variasi bahasa berdasarkan ‘use’-
nya. Register adalah bahasa yang
digunakan pada saat tertentu dan
ditentukan oleh apa yang Anda
kerjakan, dengan siapa, dan dengan
menggunakan sarana apa.
● Register menunjukkan tipe proses
sosial yang sedang terjadi.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 121
● Oleh karena itu, pada dasarnya dialek
mengatakan hal yang sama secara
berbeda. Maka dialek cenderung
berbeda dalam hal: fonetik, fonologi,
kosakata, dan dalam beberapa hal
tata bahasa, tetapi tidak pernah
berbeda di dalam semantik.
● Contoh ekstrem dialek ini adalah
‘anti-bahasa’, prokem, dan ‘bahasa
ibu’.
● Contoh lainnya adalah variasi
subkultur: kasta, kelas sosial,
keaslian (rural atau urban), generasi
(orang/anak), usia (tua/muda),
dan seks (pria/wanita) (lihat juga
Chambers dan Trudgill, 1980; Lyons,
1981 untuk membandingkannya
dengan register)
● Oleh karena itu, pada hakekatnya
register mengatakan hal yang
berbeda. Maka register cenderung
berbeda dalam bidang semantik.
Oleh karena itu, berbeda tata
bahasa dan kosakatanya (sebagai
ekspresi makna), tetapi jarang
berbeda dalam fonologinya
(menuntut kualitas suara yang
khas).
● Contoh ekstrem register adalah
bahasa terbatas dan bahasa untuk
tujuan khusus.
● Contoh lainnya adalah variasi
profesi (ilmiah, teknologis),
kelembagaan (doktor-pasien;
guru-murid) dan konteks-konteks
lain yang mempunyai struktur dan
strategi tertentu (seperti dalam
diskusi, belanja, dan ngobrol)
(diambil dari Halliday dan Hasan, 1985 dengan modifikasi)
Yang perlu diperhatikan selanjutnya ialah bahwa di dalam dialek anggota
masyarakat terdapat ikatan afektif yang sangat kuat dengan dialeknya karena dialek
dapat mengekspresikan identitas daerah dan struktur sosial. Di samping itu, dialek dapat
digunakan sebagai media komunikasi untuk mengatur hierarki sosialnya. Oleh karena
itu, dialek akan mempunyai status tertentu sebagai simbol suatu masyarakat. Sebaliknya,
register ditentukan oleh konfigurasi semantik yang secara khusus dihubungkan dengan
konteks situasi tertentu (seperti yang ditentukan oleh medan, pelibat, dan sarana tertentu).
122 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Garis batas antara register dan dialek tidak selalu kelihatan jelas. Ada titik-titik
tertentu yang menunjukkan bahwa dialek dan register tumpang-tindih. Misalnya, dalam
dunia kerja terdapat pembagian tingkatan pekerja: buruh, staf pegawai, manager, dan
direktur. Setiap anggota tingkatan mempunyai ciri dan peran sosial yang berbeda. Anggota
setiap tingkatan tersebut mempunyai register dan sekaligus dialek. Sebagai buruh, manager,
atau direktur, mereka mempunyai ciri kebahasaan yang sesuai dengan jabatannya. Akan
tetapi, ketika mengadakan pertemuan, buruh, manager, dan direktur menggunakan juga
register pertemuan untuk mencapai tujuan pertemuan tersebut. Dengan demikian, di dalam
bahasa tersebut terdapat percampuran antara bahasa buruh, manager, dan direktur sebagai
dialek dan bahasa pertemuan sebagai register.
Dalam kasus lain, misalnya, banyak penelitian di dalam dunia pendidikan pada
anak-anak yang berasal dari kelas sosial yang berbeda. Di dalam sekolah, misalnya, anakanak
yang berasal dari kelas sosial menengah dan atas dapat dengan mudah mengikuti
pelajaran sekolah karena mereka sudah terbiasa dengan register sekolah atau ‘elaborate
codes’ dengan baik. Hal itu terjadi karena di rumah mereka diperkenalkan bahasa sekolah
oleh orang tua mereka. Pada saat yang sama, anak-anak dari kalangan kelas sosial bawah
mendapat kesulitan dengan pelajaran sekolah karena bahasa yang diperkenalkan oleh orang
tua mereka merupakan bahasa terbatas ‘restricted codes’ yang masing-masing dipengaruhi
oleh dialek di lingkungan mereka (Bernstein dalam Cook-Gumperz, 1986).
Banyak penelitian sejenis yang menunjukkan hasil yang sama, misalnya penelitian
yang dilakukan oleh Brian Gray (1986) yang meneliti bahasa anak sekolah orang kulit
putih dengan anak aborigin di Australia, kemudian Michaels dan Heath yang melihat
bahasa anak dan orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat. Anak aborigin dan
anak kulit hitam mendapat kesulitan untuk memahami register sekolah karena di rumah
mereka hanya mengenal dialek mereka (dalam Cook-Gumperz, 1986).
2. Register dan Gaya Bahasa
Seperti yang telah disebutkan di atas, register merupakan konsep semantis yang
dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara medan, pelibat,
dan sarana di dalam konteks situasi tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi
penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di
dalam konfigurasi itu. Dengan demikian, register merupakan tidak hanya konsep bentuk,
tetapi juga sebetulnya konsep makna. Di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register
memerlukan bentuk-bentuk ekspresi tertentu. Hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi
diperlukan untuk mengungkapkan makna yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut.
Dalam pengertian ini, register sama dengan pengertian style atau gaya bahasa, yaitu suatu
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 123
varian bahasa berdasarkan penggunaannya (lihat Lyons, 1990, 1987). Bahkan, Fowler
(1989) mengatakan bahwa register atau gaya bahasa termasuk bahasa yang digunakan dalam
karya sastra, seperti puisi, novel, atau drama. Meskipun Fowler berpendapat demikian, para
sastrawan mengklaim bahwa karya sastra merupakan dunia kreasi tersendiri. Bahasa sastra
merupakan sistem semiotika tingkat kedua (second order semiotic system). Bahasa hanya
sebagai medianya yang hanya merupakan sistem semiotika tingkat pertama (first order
semiotic system). Menurut Fowler (1989), keseluruhan sistem semiotik tersebut, baik yang
tingkat pertama maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan
sebagai media karya sastra tersebut.
Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang
terjadi: apa yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan
kejadian, seperti kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, dan mengapa kejadian itu
terjadi. Di dalam contoh ‘mengajar’ di atas, medan merujuk pada peristiwa mengajarnya itu
sendiri, yaitu cara yang digunakan dalam mengajar ( seperti ceramah), topik yang dibahas,
tempat dan waktu mengajar, serta tujuan mengajar. Aspek medan ini di dalam teks dapat
dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi, transitivitas, sistem klausa, sistem kelompok,
nomina, verba, atau adjektiva, serta sistem leksis: abstraksi dan teknikalitas, serta ciri-ciri
dan kategori semantiknya.
Pelibat (tenor) merujuk pada siapa yang berperan di dalam kejadian sosial tersebut,
sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: peran sosial yang
bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau peran permanen
atau sesaat. Di samping itu, pelibat juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan untuk
mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam contoh di atas
yang termasuk di dalam pelibat ialah partisipan (guru dan murid serta hubungan peran
dan status sosial mereka seperti yang tampak pada bahasa yang mereka gunakan untuk
mengekspresikan hubungan peran serta status sosial mereka masing-masing). Aspek
pelibat juga mempunyai tiga subbagian, yaitu afek, status, dan kontak. Afek ialah penilaian
(assesment, evaluation, dan judgement) antarpartisipan di dalam teks. Penilaian ini secara
umum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu penilaian positif atau negatif. Akan tetapi,
di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen
semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya, untuk penilaian positif dapat
dikatakan apakah partisipannya mendukung, menyetujui pendapat partisipan yang lain,
apakah partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain, dan
sebagainya. Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang menyerang,
mengkritik, mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya.
Berdasarkan penilaian itu kita dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan
yang lain. Dalam sistem kebahasaan afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem fonologi/
124 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau proposal,
transitivitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek pelibat yang
kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran partisipannya.
Secara umum, hubungan peran dan status sosial ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
hierarkis/vertikal, dan nonhierarkis/horizontal. Di dalam analisis, status sosial dan hubungan
peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial apa yang sedang
diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran sosial partisipan
lebih bersifat otoriter: tertutup seperti atasan-bawahan atau dokter-pasien atau mungkin
lebih bersifat demokratis: terbuka seperti hubungan antaranggota parlemen, antardosen,
atau antarmahasiswa. Secara semiotis, hubungan status dan peran sosial ini dapat dilihat
melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau atitudinal, struktur mood: proposisi atau
proposal, transitivitas, struktur tema, kohesi, dan struktur teks beserta genrenya. Sub-aspek
yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi penggunaan bahasa yang sedang digunakan di
dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang sedang digunakan tersebut familiar atau tidak.
Artinya, semua partisipan yang terlibat di dalamnya memahami dan mengerti bahasa yang
sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal) tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut,
kontak ini menyangkut tingkat keterbacaan (readability) suatu teks yang sedang digunakan,
maksudnya apakah teks itu terlalu sulit, sulit, mudah, atau terlalu mudah untuk dimengerti.
Untuk mencari tahu kontak (familiaritas dan keterbacaan ini) seluruh aspek kebahasaan,
dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terendah (struktur teks: jelas pembukaan,
isi, dan penutupnya atau membingungkan, linier atau spiral, kohesi: rujukannya jelas atau
membingungkan, sistem klausanya: simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks
dengan embbeding, sistem grupnya (nomina, verba, adjunct): simpleks atau kompleks,
sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, menggunakan abstraksi atau teknikalitas,
serta fonologi atau grafologinya harus diukur.
Akhirnya, sarana (mode) merujuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, apa
yang diharapkan partisipan dengan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu itu:
organisasi simbolis teks, status yang dimilikinya, fungsinya di dalam konteks tersebut,
termasuk saluran (channel), apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis
atau lisan atau gabungan. Termasuk di dalam sarana ialah makna retorisnya: apa yang
diinginkan teks tersebut termasuk dalam kategori: persuasif, ekspositori, didaktis, atau
yang lainnya. Di samping itu, aspek sarana ini juga melibatkan medium yang digunakan
untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah mediumnya bersifat lisan dengan oneway
atau two-way communication: audio, audio-visual, visual, misalnya tutorial, pidato,
siaran radio, atau televisi, dialog, seminar, atau khotbah; atau tulis/cetak yang bersifat
komunikasi satu arah atau dua arah, seperti koran, majalah, tabloid, spanduk, papan iklan,
atau surat menyurat.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 125
Dalam contoh lain yang termasuk di dalam aspek sarana ialah varian bahasa lisan:
ngok dan kromo yang digunakan oleh partisipan di dalam medium rembug desa atau
sarasehan. Teks dan wacana yang digunakan merupakan satu-kesatuan aktivitas sosial yang
bersifat persuasif dengan argumen logis atau hortatoris serta mediumnya ialah musyawarah
dengan berbagai aturan tempat dan tata letak (proksemik), cara bermusyawarah, dan lainlain.
Secara terperinci gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu gaya lisan dan gaya
tulis. Gaya lisan atau tulis ini tidak terkait erat dengan apakah bahasa itu diucapkan atau
ditulis. Akan tetapi, gaya lisan dan gaya tulis ini diklasifikasikan berdasarkan sifat alamiah
bahasa yang sedang digunakan (the nature of language). Sebenarnya, pembagian gaya
bahasa lisan atau tulis ini tidak semata-mata bersifat dikotomis, tetapi perbedaan itu lebih
merupakan suatu kontinum. Artinya, bahasa yang kita gunakan sehari-hari dapat jatuh pada
garis kontinum, yaitu lebih bersifat lisan, cenderung lisan, tengah-tengah antara lisan dan
tulis, cenderung tulis, atau lebih bersifat tulis.
Kontinum Gaya Bahasa Lisan dan Tulis
lisan tulis
cenderung lisan lisan-tulis cenderung tulis
Akan tetapi, di dalam realitas sehari-hari variasi gaya bahasa dapat jauh lebih banyak
jika dibanding dengan pembagian di atas. Ada gaya bahasa yang jatuh pada titik kontinum
antara lisan dan cenderung lisan, antara cenderung lisan dan lisan-tulis, antara lisan-tulis
dan cenderung tulis, dan antara cenderung tulis dan tulis yang bergantung pada konteks
situasinya.
Sementara itu, ciri-ciri gaya bahasa lisan atau tulis ini pada dasarnya dibedakan
menurut tingkat keabstrakan atau cair dan tidak cairnya bahasa yang digunakan. Bahasa
lisan secara keseluruhan lebih konkret dan encer, sedangkan bahasa tulis lebih abstrak dan
kaku. Pada sistem kebahasaan keabstrakan dan kepadatan bahasa dapat dilihat melalui
sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, kepadatan leksikalnya: perbandingan antara
leksis gramatikal dan leksis konten, sistem klausanya: simpleks atau kompleks, sistem
kelompok nomina: simpleks atau kompleks, sistem gramatikanya: merujuk pada situasi
komunikasi searah atau dua arah, serta penggunaan aspek kohesi tertentu. Lebih lanjut,
perbedaan bahasa lisan dan tulis dapat dirangkum sebagai berikut.
126 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
Perbedaan Bahasa Lisan dan Tulis
Bahasa Lisan Bahasa Tulis
• Sistem leksisnya lebih kongruen
( s i s tem penyimpulannya
langsung), serta lebih encer karena
sedikit abstraksi dan teknikalitas,
rasio antara leksis konten dan
gramatikalnya lebih dari 0,5.
• Sistem leksisnya lebih inkongruen
(penyimpulannya secara tidak
langsung), serta padat karena banyak
abstraksi dan teknikalitas, rasio
leksis konten dan gramatikalnya
lebih banyak kurang dari 0,5.
• Penggunaan gramatikalnya lebih
merujuk pada situasi komunikasi
dua arah, misalnya penggunaan
vokatif (gramatika untuk
memanggil seseorang), seperti
John, sayang, Pak. Penggunaan
kata ganti orang kedua: kamu,
Anda dengan variasi pronomina
orang keduanya: seperti Anda
sekalian.
• Penggunaan gramatikalnya lebih
merujuk pada situasi komunikasi
satu arah. Tidak ada vokatif, tidak
menggunakan kata ganti orang
kedua.
• Sistem klausanya lebih bersifat
kompleks karena klausa kompleks
secara jelas menunjukkan
hubungan logis antara kejadian
yang satu dan yang lainnya. Klausa
kompleks dengan kata sambung
(eksternalnya): dan, tetapi, atau,
walaupun, karena, sehingga,
setelah, sebelum, dan lain-lain
membuat logika lebih mudah
dimengerti.
• Sistem klausanya lebih bersifat
simpleks karena penggunaan klausa
simpleks lebih menutupi hubungan
logis antara kejadian yang satu
dan kejadian yang lain. Jika suatu
teks banyak menggunakan klausa
simpleks, logika sering diekspresikan
secara implisit atau menggunakan
kata sambung internal yang biasanya
terletak pada bagian depan klausa
simpleks (kalimat simpleks),
misalnya Sementara itu, Oleh karena
itu, Lebih lanjut, Pada sisi lain, dan
sebagainya.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 127
• Sistem grupnya (nomina, verba,
dan adjunct) lebih bersifat
simpleks karena grup simpleks ini
lebih jelas entitasnya (nomina),
prosesnya (verba), serta lebih jelas
sirkumstan-nya (adjunct).
• Sistem grupnya lebih bersifat
kompleks, terdapat pre dan post
modifier (embedding) di dalam
kelompok nominanya dengan
verba ganda serta modifiernya
pada kelompok verba, serta adanya
embedding frasa benda di dalam
kelompok adjunct.
• Sistem kohesi yang digunakan
banyak menggunakan repetisi
karena dengan repetisi rujukkannya
menjadi lebih jelas; adanya elipsis
yang membuat teks, seperti wacana
percakapan.
• Sistem kohesinya jarang
menggunakan repetisi, hanya
jika terpaksa untuk menghindari
ambiguitas rujukan. Tidak adanya
penggunaan elipsis yang membuat
seolah-olah seperti wacana
percakapan.
Karena tingkat abstraksi dan keenceran gaya bahasa lisan atau tulis ini, sering gaya
bahasa lisan atau tulis ini dikaikan dengan ragam bahasa lainnya. Misalnya, anak sering
menggunakan bahasa ragam lisan karena tingkat pemikiran anak yang lebih konkret serta
logika anak yang sederhana untuk mengekspresikan hubungan kejadian yang satu dengan
kejadian yang lainnya. Sementara itu, orang tua sering menggunakan ragam bahasa yang
lebih cenderung tulis karena orang tua lebih banyak berpikir secara abstrak dengan logika
yang lebih rumit. Kemudian, bahasa akademik lebih bersifat lisan karena sistemnya secara
keseluruhan lebih abstrak dan logika implisit dan leksis yang lebih padat. Sementara itu,
bahasa awam lebih cenderung bergaya lisan karena orang awam lebih berpikir konkret dan
lebih encer dengan logika yang lebih eksplisit.
Dengan asumsi itu, setiap ragam bahasa, seperti ragam jurnalistik, hukum, sastra,
atau seni dapat dikategorikan menurut gaya bahasa lisan atau tulis dengan berbagai
kecenderungannya. Untuk memberikan contoh yang lebih jelas, lihat teks berikut ini.
Teks yang diambil dari teks iklan ini akan dilihat aspek-aspek konteks situasinya: medan,
pelibat, dan sarananya. Selain itu, subaspek perlibat: afek, status, dan kontak, serta subaspek
saran: channel dan medianya juga akan dibahas.
128 Buku Guru Kelas VII SMP/MTs
3. Contoh Register dalam Teks
Provikid
Untuk Balita Ibu
Ibu, si Kecil ingin tumbuh sehat dan kuat.
Bahkan, mulai 1 tahun, dia makin perlu tambahan gizi, kalsium, serta vitamin
sebagai bekal untuk melangkah lincah menjelajahi dunia.
Itu sebabnya dia perlu PROVIKID, minuman kaya gizi, kalsium, dan
vitamin dengan kadar lemak rendah.
Agar si Kecil tak cuma tumbuh sehat, tetapi juga lincah bersemangat
Tumbuh Sehat kuat tanpa jadi boom ...
(diambil dari majalah Bobo)
Deskripsi konteks situasinya:
Medan: iklan susu kaleng PROVIKID dari dunia usaha/bisnis dalam usahanya untuk
mempromosikan salah satu produknya.
Pelibat: pengiklan sebagai orang yang bergerak dalam bidang jasa; produsen susu kaleng
Provikid yang memesan jasa pada pengiklan serta audien: anak balita dan ibu.
Sarana : tulis untuk dipublikasikan di dalam media massa;
majalah anak-anak: Bobo dengan tambahan logo; dan
pewarnaan dan ilustrasinya; teksnya bersifat ekspositori argumentatif.
Iklan merupakan dunia komunikasi massa yang khas yang digunakan untuk
mempromosikan produk. Iklan bermacam-macam menurut media yang digunakan: audio,
audio visual, visual, dan cetak. Secara teoritis, iklan mempunyai kekuatan yang berbedabeda
menurut medianya. Dalam prosesnya, produsen susu kaleng tersebut memesan
pengiklan untuk mempromosikan produknya dengan cara membayar uang sebagai pengganti
jasanya. Dalam proses ini, produsen menjadi sangat penting karena ia yang memesan jasa
tersebut. Bagaimana isi iklan, siapa yang dituju, bentuk iklan bagaimana, produsen yang
menentukan hasil akhir iklan agar konsumen membeli produknya. Di dalam teks di atas
pengiklan memvisualisasikan diri dalam wujud kelinci yang pintar berbicara. Sementara itu,
audien diwujudkan dalam bentuk anak balita laki-laki dan perempuan di dalam ilustrasinya,
sedangkan audien ibu (orang tua) terlihat di dalam teks. Medium majalah anak-anak Bobo
yang dipilih oleh produsen karena melihat audiennya adalah anak balita dan ibu yang
dianggap menjadi pembaca majalah ini.
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan 129
Inilah yang sebetulnya disebut konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna
yang dibentuk oleh konteks situasi: medan, pelibat, dan sarananya serta secara tidak
langsung konteks kultural, yang dalam hal ini ialah komunikasi massa periklanan cetak.
Konfigurasi itu jelas sekali akan membatasi penggunaan bahasanya serta memprediksi
makna keseluruhan teks terhadap audiennya.
4. Latihan Pengayaan
Sebelum melanjutkan belajar pada materi pengayaan lain, guru perlu menjawab
pertanyan-pertanyaan berikut ini dengan singkat. Berilah contoh untuk memperjelas
jawabannya.
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan register!
2. Apakah perbedaan antara register dan dialek!
3. Jelaskan dan berikan contoh kapan register dan dialek bertumpang tindih!
4. Jelaskan bagaimana register berfungsi sebagai gaya bahasa!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan gaya bahasa lisan dan tulis!
6. Carilah sebuah teks pendek secara berkelompok, kemudian analisis medan, pelibat,
dan sarananya. Temukan konfigurasi kontekstualnya!